Sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan laut sebagai penghasilan utama. Tak hanya ikan, salah satu hasil laut yang sangat melimpah adalah kupang, yakni sejenis kerang berukuran kecil.
Di Sidoarjo, tepatnya di Desa Balongdowo, terdapat sebuah tradisi unik dan masih lestari hingga saat ini. Desa Balongdowo terkenal sebagai desa penghasil kupang di Sidoarjo. Warganya kerap menggelar tradisi satu tahun sekali yang dinamakan Nyadran.
Banyak pendapat yang mengartikan kata Nyadran. Dalam Bahasa Sanskerta ‘sraddha’ berarti keyakinan. Sedangkan dalam Bahasa Jawa ‘sadran’ berarti ruwah atau syakban. Ruwah adalah nama salah satu bulan dalam kalender Jawa. Jadi yang dimaksud dengan Nyadran adalah sebuah keyakinan atau tradisi yang dilakukan saat bulan Ruwah.
Foto: pagipho.blogspot.com
Nyadran merupakan upacara adat bagi para nelayan kupang Desa Balongdowo sebagai ungkapan rasa syukur atas tangkapan hasil laut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nyadran masuk dalam bagian dari Ruwatan atau tradisi Jawa saat memasuki bulan purnama. Para peserta meliputi nelayan dan keluarganya.
Diperlukan banyak sesajen dan sejumlah ritual untuk memperlancar jalannya acara. Prosesi utama Nyadran dilakukan saat malam hari, namun persiapan sudah harus dilakukan sejak pagi hari.
Biasanya masyarakat Balongdowo melakukan gotong-royong dalam mempersiapkan acara ini. Para nelayan akan menghias perahu yang digunakan untuk berlayar sehingga memiliki tampilan cantik. Sementara para wanita menyiapkan makanan untuk keperluan sesaji berisikan ayam panggang, nasi, dan pisang yang dimasukkan ke dalam tomblok. Mereka juga telah menyiapkan satu ayam utuh yang telah mati untuk dibawa saat berlayar.
Memasuki ba'da Maghrib, masyarakat mulai berkumpul di rumah para nelayan untuk melakukan kenduren atau makan bersama diselingi doa agar acara berjalan lancar. Saat matahari sepenuhnya telah terbenam dan arus sungai sudah tidak terlalu besar, seluruh peserta siap untuk berlayar. Perahu mengawali perjalanan Bandar Balongdowo dan akan menempuh jarak sekitar 12 km melintasi rute Klurak, Kalipecabean, Kedungpeluk, dan Kepetingan (Sawohan).
Foto: pagipho.blogspot.com
Selama berlayar, para penumpang di perahu bersorak-sorai dengan melakukan tarian, menyanyi, dan aktivitas menyenangkan lainnya. Sebagai alat bantu penerangan, setiap perahu sudah dilengkapi lampu lentera tradisional.
Begitu sampai di Kalipecabean, salah satu peserta diharuskan membuang ayam utuh yang telah disiapkan tadi. Gunanya untuk berjaga-jaga agar peserta dari anak kecil tidak kesurupan. Konon, ketika tidak dilakukan prosesi ini, seorang balita yang menjadi peserta acara Nyadran diyakini bisa mengalami kesurupan.
Usai menempuh perjalanan panjang dan telah sampai di Kepetingan (Sawohan), biasanya waktu sudah menunjukkan hampir subuh. Semua peserta turun dari perahu dan bergerak menuju makam Dewi Sekardadu untuk melakukan ziarah, doa, dan sedekah agar keselamatan dan berkah terus mengalir.
Diketahui, Dewi Sekardadu merupakan seorang dewi yang ditemukan meninggal di sekitar lokasi Desa Balongdowo. Masyarakat meyakini, sosoknya memberi keberuntungan.
Foto: instagram/@dimas_gibrut
Setelah berziarah, perahu bergerak menuju Selat Madura dan membentuk formasi lingkaran di tengah laut. Selanjutnya para nelayan dan remaja akan terjun ke laut untuk mandi dan memperagakan cara mengambil kupang. Puas bermain air, maka selesai pula rangkaian acara Nyadran di Desa Balongdowo.
Begitu matahari mulai naik, semua peserta Nyadran pulang menuju tempat pemberangkatan awal. Nantinya para peserta Nyadran disambut sorak-sorai masyarakat yang sudah menantikan kepulangan mereka dari tepian sungai.