Foto: instagram.com/yusufoncom
Kayu gelondongan kayu cendane
Pagernye kawat tulang nya besi
Abang ame rombongan darimane mau kemane
Dateng kemari kudu permisi
Bang umpame ibu seorang keramat
Kalo ngomong abang jangan nyakitin ati
Bang saya bersama tamu dateng dengan segala hormat
Tolong abang terime dengan senang hati
Begitulah lihainya percakapan antara dua orang yang sedang berbalas pantun. Suasana ini sudah sangat familiar di kalangan warga Tangerang Selatan (Tangsel). Keluarga pihak laki-laki diarak untuk pergi meminang mempelai perempuan, diramaikan dengan suara letusan petasan, properti kembang kelapa, ondel-ondel dan seserahan berupa roti buaya. Ya, begitulah suasana acara adat yang dinamakan Palang Pintu.
Apakah Palang Pintu adat asli Tangsel? Tentu saja bukan, masuknya adat suku Betawi ke kota Tangsel merupakan hal yang sudah diketahui banyak masyarakatnya. Karena letaknya bersebelahan dengan Jakarta, tradisi Palang Pintu sering diadakan di setiap acara pernikahan masyarakat sekitar kota Tangsel. Bahkan bagi yang bukan berasal dari suku Betawi pun juga bisa menggunakan adat istiadat ini. Maka dari itu, budaya Palang Pintu sering disebut sebagai seni tradisional kota Tangsel.
Palang Pintu sebenarnya merupakan tradisi asli masyarakat Betawi. Tradisi ini terdiri dari bermacam rangkaian, yaitu pencak silat, berbalas pantun, dan mengaji. Selain acara pernikahan, tradisi ini juga dipakai untuk acara penyambutan tokoh publik/tamu kehormatan dan hiburan.
Foto: instagram.com/jalan_tangan_betawi_muda
Sejarah Palang Pintu
Berdasarkan banyak sumber, tradisi Palang Pintu ini sudah ada sejak zaman nenek moyang, namun belum ada yang menyebutkan waktu tepatnya. Palang yang memiliki arti penghalang dan pintu merupakan akses masuk ke suatu wilayah. Jadi, Palang Pintu adalah penghalang untuk memasuki ke sebuah wilayah tertentu.
Wilayah di sini dimaksudkan untuk wilayah keluarga Betawi atau mempelai perempuan. Sehingga siapapun yang akan memasuki atau datang untuk meminang sang mempelai perempuan harus bisa melewati ujian tertentu untuk menunjukkan kemampuan sang mempelai laki-laki. Karena itu tradisi ini juga menyimbolkan ujian yang dihadapi mempelai laki-laki saat meminang mempelai perempuan.
Palang Pintu yang merupakan adat asli Betawi ini, dulunya hanya dipakai oleh orang-orang kaya. Karena untuk mengadakan seluruh rangkaian memerlukan dana yang cukup besar, seperti alat musik, membayar para penampilnya yang terdiri dari minimal 12 orang dan keperluan lainnya.
Foto: bekasikota.go.id
Makna Setiap Rangkaian Palang Pintu
Pada dasarnya, Palang Pintu dibagi menjadi empat inti acara, yaitu shalawat dustur, berbalas pantun, pencak silat dan lantun sike/mengaji. Setiap rangkaian memiliki filosofi tersendiri. Pertama diawali dengan sambutan dari pihak laki-laki berupa salam dan shalawat dustur, kemudian akan dilanjutkan balas pantun yang dimainkan oleh satu perwakilan dari masing-masing keluarga perempuan dan laki-laki.
Pantun ini biasanya mengandung humor yang bertujuan untuk menghidupkan dan mencairkan suasana pada saat acara berlangsung. Balas pantun di sini memiliki makna bahwa sang suami bertanggung jawab untuk membahagiakan istri dan anaknya kelak.
Setelah dibuka dengan balas pantun, lalu dua orang pesilat dari masing-masing pihak akan masuk. Pesilat ini biasa disebut sebagai jawara. Tak jarang juga aksi silat ini dilengkapi dengan sedikit pantun dan aksi jenaka dari kedua jawara.
Aturannya, aksi silat harus dimenangkan oleh pihak laki-laki. Jika tidak, maka pasangan tidak boleh menikah. Bahkan jika mempelai pria menguasai teknik silat, mempelai laki-laki itu sendiri yang akan melawan jawara dari pihak perempuan. Pencak silat yang ditampilkan dalam palang pintu melambangkan bahwa seorang suami harus bisa melindungi keluarganya dari gangguan.
Rangkaian yang terakhir adalah shalawat dengan lantun sike/mengaji. Biasanya terdiri dari satu orang pelantun. Proses ini melambangkan bahwa seorang suami harus bisa menjadi tuntunan bagi istri dan anak-anaknya.
Tradisi Palang Pintu biasanya diiringi dengan alunan musik pencak. Musik pencak terdiri dari beberapa alat musik, yaitu gendang pencak, gendang dua set, kecrek, kempu dan kemong.
Kostum yang digunakan oleh para penampilnya yaitu baju adat Betawi sehari-hari berupa baju koko (sadariah) dan celana panjang. Selain itu dilengkapi dengan peci hitam dan sarung yang ditaruh di pundak. Sedangkan pesilat menggunakan baju silat atau pangsi Betawi, biasanya berwarna merah, hitam, hijau atau kuning.
Pagernye kawat tulang nya besi
Abang ame rombongan darimane mau kemane
Dateng kemari kudu permisi
Bang umpame ibu seorang keramat
Kalo ngomong abang jangan nyakitin ati
Bang saya bersama tamu dateng dengan segala hormat
Tolong abang terime dengan senang hati
Begitulah lihainya percakapan antara dua orang yang sedang berbalas pantun. Suasana ini sudah sangat familiar di kalangan warga Tangerang Selatan (Tangsel). Keluarga pihak laki-laki diarak untuk pergi meminang mempelai perempuan, diramaikan dengan suara letusan petasan, properti kembang kelapa, ondel-ondel dan seserahan berupa roti buaya. Ya, begitulah suasana acara adat yang dinamakan Palang Pintu.
Apakah Palang Pintu adat asli Tangsel? Tentu saja bukan, masuknya adat suku Betawi ke kota Tangsel merupakan hal yang sudah diketahui banyak masyarakatnya. Karena letaknya bersebelahan dengan Jakarta, tradisi Palang Pintu sering diadakan di setiap acara pernikahan masyarakat sekitar kota Tangsel. Bahkan bagi yang bukan berasal dari suku Betawi pun juga bisa menggunakan adat istiadat ini. Maka dari itu, budaya Palang Pintu sering disebut sebagai seni tradisional kota Tangsel.
Palang Pintu sebenarnya merupakan tradisi asli masyarakat Betawi. Tradisi ini terdiri dari bermacam rangkaian, yaitu pencak silat, berbalas pantun, dan mengaji. Selain acara pernikahan, tradisi ini juga dipakai untuk acara penyambutan tokoh publik/tamu kehormatan dan hiburan.
Foto: instagram.com/jalan_tangan_betawi_muda
Sejarah Palang Pintu
Berdasarkan banyak sumber, tradisi Palang Pintu ini sudah ada sejak zaman nenek moyang, namun belum ada yang menyebutkan waktu tepatnya. Palang yang memiliki arti penghalang dan pintu merupakan akses masuk ke suatu wilayah. Jadi, Palang Pintu adalah penghalang untuk memasuki ke sebuah wilayah tertentu.
Wilayah di sini dimaksudkan untuk wilayah keluarga Betawi atau mempelai perempuan. Sehingga siapapun yang akan memasuki atau datang untuk meminang sang mempelai perempuan harus bisa melewati ujian tertentu untuk menunjukkan kemampuan sang mempelai laki-laki. Karena itu tradisi ini juga menyimbolkan ujian yang dihadapi mempelai laki-laki saat meminang mempelai perempuan.
Palang Pintu yang merupakan adat asli Betawi ini, dulunya hanya dipakai oleh orang-orang kaya. Karena untuk mengadakan seluruh rangkaian memerlukan dana yang cukup besar, seperti alat musik, membayar para penampilnya yang terdiri dari minimal 12 orang dan keperluan lainnya.
Foto: bekasikota.go.id
Makna Setiap Rangkaian Palang Pintu
Pada dasarnya, Palang Pintu dibagi menjadi empat inti acara, yaitu shalawat dustur, berbalas pantun, pencak silat dan lantun sike/mengaji. Setiap rangkaian memiliki filosofi tersendiri. Pertama diawali dengan sambutan dari pihak laki-laki berupa salam dan shalawat dustur, kemudian akan dilanjutkan balas pantun yang dimainkan oleh satu perwakilan dari masing-masing keluarga perempuan dan laki-laki.
Pantun ini biasanya mengandung humor yang bertujuan untuk menghidupkan dan mencairkan suasana pada saat acara berlangsung. Balas pantun di sini memiliki makna bahwa sang suami bertanggung jawab untuk membahagiakan istri dan anaknya kelak.
Setelah dibuka dengan balas pantun, lalu dua orang pesilat dari masing-masing pihak akan masuk. Pesilat ini biasa disebut sebagai jawara. Tak jarang juga aksi silat ini dilengkapi dengan sedikit pantun dan aksi jenaka dari kedua jawara.
Aturannya, aksi silat harus dimenangkan oleh pihak laki-laki. Jika tidak, maka pasangan tidak boleh menikah. Bahkan jika mempelai pria menguasai teknik silat, mempelai laki-laki itu sendiri yang akan melawan jawara dari pihak perempuan. Pencak silat yang ditampilkan dalam palang pintu melambangkan bahwa seorang suami harus bisa melindungi keluarganya dari gangguan.
Rangkaian yang terakhir adalah shalawat dengan lantun sike/mengaji. Biasanya terdiri dari satu orang pelantun. Proses ini melambangkan bahwa seorang suami harus bisa menjadi tuntunan bagi istri dan anak-anaknya.
Tradisi Palang Pintu biasanya diiringi dengan alunan musik pencak. Musik pencak terdiri dari beberapa alat musik, yaitu gendang pencak, gendang dua set, kecrek, kempu dan kemong.
Kostum yang digunakan oleh para penampilnya yaitu baju adat Betawi sehari-hari berupa baju koko (sadariah) dan celana panjang. Selain itu dilengkapi dengan peci hitam dan sarung yang ditaruh di pundak. Sedangkan pesilat menggunakan baju silat atau pangsi Betawi, biasanya berwarna merah, hitam, hijau atau kuning.
Artikel ini ditulis oleh Afa Najmi Layalia