Foto: Brisik.id/Ariska
Tentu tak lengkap rasanya berkunjung ke sebuah tempat tanpa mencicipi kuliner khasnya. Nah, jika Teman Brisik sedang berada di Solo, jangan lupa mampir ke Wedangan Kebon Koelon.
Konsep rumah makan ini menyajikan hal berbeda untuk pengunjungnya. Selain suasana yang kental dengan kesederhanaan dan kekeluargaan, Wedangan Kebon Koelon juga menyajikan suasana klasik khas Jawa.
Menu yang disajikan pun turut menghadirkan atmosfer kampung halaman yang semakin membuat kita betah berlama-lama dan tak ingin ketinggalan mencicipi setiap hidangan yang tersaji.
Foto:Brisik.id/Ariska
Hadirnya wedangan di Kota Solo memang bukan hal asing lagi. Maka tak heran, jika Solo juga seringkali disebut dengan kota seribu wedangan.
Konsep wedangan yang umum di Solo biasanya menghadirkan hidangan khas kampung seperti nasi kucing, aneka gorengan, dan berbagai hidangan tradisional khas Jawa, yang dijajakan dengan gerobak.
Namun, Wedangan Kebon Koelon menghadirkan konsep yang berbeda. Meski tetap mempertahankan konsep kesederhanaan, wedangan ini justru berdiri di sebuah lokasi yang cukup luas, yakni sekitar 4000 meter persegi.
Bangunan yang menjadi lokasi wedangan pun mirip pendopo rumah Jawa dengan konsep semi outdoor. Itu sebabnya, menikmati hidangan di wedangan ini akan membuat kita merasa teduh dan betah berlama-lama.
Wedangan ini juga menyediakan deretan kursi kayu bagi pengunjung yang ingin bercengkerama dengan para kerabat sembari menikmati kuliner khas "ndeso".
Penerangannya pun memanfaatkan lampu berbentuk bunga yang tampak remang-remang sehingga menambah kehangatan bagi pengunjung.
Selain itu, wedangan ini juga dilengkapi dengan ornamen-ornamen tradisional khas Jawa, seperti patung Loro Bloyo yang merupakan simbol kemakmuran di Jawa. Di beberapa sudut juga tersedia semacam sesajen yang semakin memperkental nuansa Jawa di dalamnya.
Foto:Brisik.id/Ariska
Menikmati hidangan di wedangan ini tak hanya membuat perut kita kenyang. Kita juga seolah diajak bernostalgia dengan kampung halaman masa kecil. Maka tak heran, wedangan yang didirikan oleha Gambiro Laksono Nugroho ini juga sering dijadikan tujuan wisata kuliner oleh artis dan pejabat.
Seperti wedangan pada umumnya, Wedangan Kebon Koelon ini menyajikan aneka hidangan tradisional seperti ketan, nasi kucing, sate usus, aneka gorengan, jadah, dan berbagai hidangan khas Jawa tengah. Minuman yang dijajakan pun juga beraneka ragam mulai dari aneka olahan teh, kopi, susu jahe, hingga wedang uwuh dan jahe.
Harganya relatif murah sekitar Rp500 - 10.000 untuk aneka gorengan, Rp5.000 untuk nasi kucing, dan Rp2.000 - 10.000 untuk minumannya.
Sesuai dengan namanya, kebon koelon memiliki makna kebun yang berada di kulon atau dalam bahasa Indonesia bermakna barat. Lokasinya berada di Jalan Wuni Tengah No.14 Karangasem Kleco, Laweyan, Solo. Wedangan ini buka setiap hari Selasa - Minggu pukul 17.00 - 00.00 WIB.
Jika ingin berkunjung, Teman Brisik bisa menaiki kendaraan umum atau ojek online menuju pasar Kleco, yang lokasinya sekitar dua kilometer dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Setelah tiba di pasar Kleco,melangkah sekitar 100 meter menuju gang di sebelah kiri pasar.
Konsep rumah makan ini menyajikan hal berbeda untuk pengunjungnya. Selain suasana yang kental dengan kesederhanaan dan kekeluargaan, Wedangan Kebon Koelon juga menyajikan suasana klasik khas Jawa.
Menu yang disajikan pun turut menghadirkan atmosfer kampung halaman yang semakin membuat kita betah berlama-lama dan tak ingin ketinggalan mencicipi setiap hidangan yang tersaji.
Foto:Brisik.id/Ariska
Hadirnya wedangan di Kota Solo memang bukan hal asing lagi. Maka tak heran, jika Solo juga seringkali disebut dengan kota seribu wedangan.
Konsep wedangan yang umum di Solo biasanya menghadirkan hidangan khas kampung seperti nasi kucing, aneka gorengan, dan berbagai hidangan tradisional khas Jawa, yang dijajakan dengan gerobak.
Namun, Wedangan Kebon Koelon menghadirkan konsep yang berbeda. Meski tetap mempertahankan konsep kesederhanaan, wedangan ini justru berdiri di sebuah lokasi yang cukup luas, yakni sekitar 4000 meter persegi.
Bangunan yang menjadi lokasi wedangan pun mirip pendopo rumah Jawa dengan konsep semi outdoor. Itu sebabnya, menikmati hidangan di wedangan ini akan membuat kita merasa teduh dan betah berlama-lama.
Wedangan ini juga menyediakan deretan kursi kayu bagi pengunjung yang ingin bercengkerama dengan para kerabat sembari menikmati kuliner khas "ndeso".
Penerangannya pun memanfaatkan lampu berbentuk bunga yang tampak remang-remang sehingga menambah kehangatan bagi pengunjung.
Selain itu, wedangan ini juga dilengkapi dengan ornamen-ornamen tradisional khas Jawa, seperti patung Loro Bloyo yang merupakan simbol kemakmuran di Jawa. Di beberapa sudut juga tersedia semacam sesajen yang semakin memperkental nuansa Jawa di dalamnya.
Foto:Brisik.id/Ariska
Menikmati hidangan di wedangan ini tak hanya membuat perut kita kenyang. Kita juga seolah diajak bernostalgia dengan kampung halaman masa kecil. Maka tak heran, wedangan yang didirikan oleha Gambiro Laksono Nugroho ini juga sering dijadikan tujuan wisata kuliner oleh artis dan pejabat.
Seperti wedangan pada umumnya, Wedangan Kebon Koelon ini menyajikan aneka hidangan tradisional seperti ketan, nasi kucing, sate usus, aneka gorengan, jadah, dan berbagai hidangan khas Jawa tengah. Minuman yang dijajakan pun juga beraneka ragam mulai dari aneka olahan teh, kopi, susu jahe, hingga wedang uwuh dan jahe.
Harganya relatif murah sekitar Rp500 - 10.000 untuk aneka gorengan, Rp5.000 untuk nasi kucing, dan Rp2.000 - 10.000 untuk minumannya.
Sesuai dengan namanya, kebon koelon memiliki makna kebun yang berada di kulon atau dalam bahasa Indonesia bermakna barat. Lokasinya berada di Jalan Wuni Tengah No.14 Karangasem Kleco, Laweyan, Solo. Wedangan ini buka setiap hari Selasa - Minggu pukul 17.00 - 00.00 WIB.
Jika ingin berkunjung, Teman Brisik bisa menaiki kendaraan umum atau ojek online menuju pasar Kleco, yang lokasinya sekitar dua kilometer dari Universitas Muhammadiyah Surakarta. Setelah tiba di pasar Kleco,melangkah sekitar 100 meter menuju gang di sebelah kiri pasar.
Artikel ini ditulis oleh Ariska anggraini