Foto: brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Kabupaten Blora adalah gerbang masuk Provinsi Jawa Tengah dari timur. Selain memiliki area hutan jati yang luas, Blora memiliki keragaman tradisi yang kuat, salah satunya adalah masyarakat adat yang masih mempertahankan ajaran leluhur, yaitu masyarakat Samin.
Kelompok ini dianggap unik oleh masyarakat luas dengan kearifan lokal yang membuatnya berbeda dengan masyarakat lain.
Masyarakat Samin menyebar di beberapa daerah dan bermukim secara berkelompok. Kebanyakan di pedalaman dekat dengan hutan jati, salah satunya di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, sekitar 38 kilometer ke timur dari pusat Kota Blora. Saat ini dikenal dengan Kampung Samin dan telah ditetapkan sebagai desa wisata budaya.
Sejarah Gerakan Saminisme
Masyarakat Samin adalah salah satu suku di Indonesia yang berasal dari pemikiran atau ajaran pemimpin masyarakat yang bernama Samin Surosentiko. Memiliki nama asli Raden Kohar yang merupakan putra dari Raden Surowidjoyo yang berasal dari kalangan bangsawan.
Pada mulanya, suku Samin dengan ajaran Saminismenya hadir sebagai sebuah gerakan perlawanan menentang pemerintah Belanda yang merampas tanah-tanah rakyat untuk memperluas area hutan jati.
Tidak hanya itu, pemerintah Belanda kemudian menindaklanjuti dengan pemungutan pajak untuk tanah, air, dan usaha ternak mereka. Pemanfaatan hutan juga dibatasi.
Hal inilah yang membuat para masyarakat pinggir hutan resah dan akhirnya melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan Samin Surosentiko, yang diangkat sebagai pemimpin tanpa persetujuan dirinya, karena ia dianggap sebagai orang yang pemberani dan selalu membela kepentingan rakyat.
Perlawanan masyarakat Samin berupa perlawanan kultural. Gerakan perlawanan Saminis dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko (tataran bahasa paling kasar dalam bahasa Jawa) dan disertai bahasa Sanepa (perumpamaan).
Contohnya seperti ketika ditanya “berapa jumlah sapimu?” maka orang Samin akan menjawab “dua” meskipun jumlah sapinya empat. Padahal yang ia maksud adalah jantan dan betina.
Penyampaian itu juga disertai dengan bahasa yang kasar. Hal itu berhasil membuat pemerintah Belanda jengkel ketika berhadapan dengan kelompok ini. Mereka menyebut masyarakat Samin sebagai orang yang tidak bisa berbahasa karena ketika ditanya selalu berbelit-belit dan sangat kasar.
Dari hal itulah masyarakat Samin acap kali dipandang masyarakat luas dengan kaca mata buram, dianggap sebagai kelompok yang suka memberontak, kolot, dan tidak kooperatif.
Stigma negatif tersebut dibangun oleh Belanda agar pengikut ini dikucilkan dari masyarakat. Padahal banyak sekali ajaran Samin yang sepenuhnya belum diketahui dan memuat keluhuran dalam memaknai hidup.
Karena Samin telah berkonotasi negatif, saat ini pengikut Samin lebih suka dipanggil Sedulur Sikep yaitu orang yang memiliki sikap dan bertanggung jawab.
Makna Keluhuran Hidup dari Ajaran Samin
Potret masyarakat Samin sebelum dan setelah kemerdekaan tentunya berbeda. Setelah kemerdekaan, mereka sudah merasa menjadi bagian dari warga Negara Indonesia. Sebagai warga negara, mereka juga memenuhi kewajiban seperti membayar pajak.
Meskipun saat ini masyarakat Samin telah terbuka dengan dunia luar, dan mengenal pesatnya perkembangan teknologi, ajaran dari leluhur masih tetap lestari dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Samin mayoritas bekerja sebagai petani dan sangat mengagungkan pekerjaan bertani. Bagi mereka, bertani adalah pekerjaan mulia dan jauh dari kebohongan.
Hal tersebut bisa dilihat di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. Mbah Pramugi Prawiro Widjoyo yang merupakan sesepuh Sedulur Sikep Dukuh Blimbing sekaligus ketua adat Samin se-Indonesia menuturkan, dalam bertingkah laku masyarakat Samin tidak boleh “drengki, srei, tukar padu, dahpen, kemeren, kutil jumput, mbedog nyolong” (jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil yang bukan haknya).
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Samin memegang prinsip kejujuran, kerja keras, kebersamaan dan persaudaraan, dan peduli lingkungan. Kejujuran adalah inti dari ajaran dalam masyarakat Samin. Segala ajaran bersumber dari kejujuran.
Karena kejujurannya itu, masyarakat Samin kerap kali dianggap sebagai orang yang amat lugu. Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Agar mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia harus berusaha dan sabar. Dengan usaha dan kesabaran tersebut, hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi.
Kebersamaan merupakan ajaran terpokok yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia harus bertindak “sama-sama”, sama-sama bertindak adil, jujur, saling menolong, demi terciptanya masyarakat yang rukun.
Hubungan manusia dengan alam di masyarakat Samin terjalin sangat baik dan dekat. Hal ini dikarenakan rutinitas kehidupan masyarakat Samin adalah sebagai petani sehingga kedekatan dengan alam tidak dapat dipisahkan.
Di Dukuh Blimbing, antara kebudayaan dan teknologi bisa bersinergi. Dalam berpakaian, mereka memiliki ciri khas tersendiri, yaitu serba hitam baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki ditambah mengenakan udeng
Selain itu, mereka juga sudah bisa membatik, menyablon, dan sudah tidak buta huruf. Dahulu masyarakat Samin yang sudah tua tidak bisa membaca dan menulis. Namun di bawah bimbingan Mbah Pramugi, mereka sudah bisa membaca.
Bahkan kampung Samin di Dukuh Blimbing ini telah ditetapkan sebagai Kampung Literasi oleh Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PP PAUD DIKMAS) Povinsi Jawa Tengah.
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Akses Menuju Kampung Samin
Dari arah Blora Kota, bisa menaiki bus menuju Cepu atau menggunakan motor pribadi. Panjang perjalanan 38 km dengan waktu tempuh kira-kira satu jam. Jika dari arah kota Cepu, juga bisa mengendarai angkutan umum atau pribadi dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Setelah itu, didekat hutan jati terdapat papan petunjuk bertuliskan “TBM Komunitas Adat Samin” Desa Sambongrejo. Perlu 5 menit lagi untuk kemudian sampai di Kampung Samin yang disambut dengan patung Ki Samin Surosentiko.
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Penginapan Terdekat
Tamu dari luar Blora yang memerlukan waktu berhari-hari di Kampung Samin, biasanya akan dipersilakan pihak keluarga Sedulur Sikep untuk tidur di kediamannya.
Jika Anda sungkan atau ingin menginap di luar Kampung Samin, ada banyak hotel di Kota Cepu yang letaknya tidak begitu jauh dengan lokasi. Seperti Kyriad Arra Hotel Cepu, Hotel Cepu Indah 2, Grand Cepu Hotel, Mega Bintang Sweet Hotel, dan Topstar Hotel. Hotel-hotel tersebut memiliki tarif sekitar 300.000-500.000 per malam.
Lokasi di sekitar hotel juga memiliki kuliner lokal khas Blora, tepatnya di Kota Cepu, seperti lontong tahu, sate, egg roll waluh, dumbeg, kopi santen yang wajib dicoba selama berkunjung ke Blora.
Kelompok ini dianggap unik oleh masyarakat luas dengan kearifan lokal yang membuatnya berbeda dengan masyarakat lain.
Masyarakat Samin menyebar di beberapa daerah dan bermukim secara berkelompok. Kebanyakan di pedalaman dekat dengan hutan jati, salah satunya di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, sekitar 38 kilometer ke timur dari pusat Kota Blora. Saat ini dikenal dengan Kampung Samin dan telah ditetapkan sebagai desa wisata budaya.
Sejarah Gerakan Saminisme
Masyarakat Samin adalah salah satu suku di Indonesia yang berasal dari pemikiran atau ajaran pemimpin masyarakat yang bernama Samin Surosentiko. Memiliki nama asli Raden Kohar yang merupakan putra dari Raden Surowidjoyo yang berasal dari kalangan bangsawan.
Pada mulanya, suku Samin dengan ajaran Saminismenya hadir sebagai sebuah gerakan perlawanan menentang pemerintah Belanda yang merampas tanah-tanah rakyat untuk memperluas area hutan jati.
Tidak hanya itu, pemerintah Belanda kemudian menindaklanjuti dengan pemungutan pajak untuk tanah, air, dan usaha ternak mereka. Pemanfaatan hutan juga dibatasi.
Hal inilah yang membuat para masyarakat pinggir hutan resah dan akhirnya melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan Samin Surosentiko, yang diangkat sebagai pemimpin tanpa persetujuan dirinya, karena ia dianggap sebagai orang yang pemberani dan selalu membela kepentingan rakyat.
Perlawanan masyarakat Samin berupa perlawanan kultural. Gerakan perlawanan Saminis dengan menggunakan bahasa Jawa Ngoko (tataran bahasa paling kasar dalam bahasa Jawa) dan disertai bahasa Sanepa (perumpamaan).
Contohnya seperti ketika ditanya “berapa jumlah sapimu?” maka orang Samin akan menjawab “dua” meskipun jumlah sapinya empat. Padahal yang ia maksud adalah jantan dan betina.
Penyampaian itu juga disertai dengan bahasa yang kasar. Hal itu berhasil membuat pemerintah Belanda jengkel ketika berhadapan dengan kelompok ini. Mereka menyebut masyarakat Samin sebagai orang yang tidak bisa berbahasa karena ketika ditanya selalu berbelit-belit dan sangat kasar.
Dari hal itulah masyarakat Samin acap kali dipandang masyarakat luas dengan kaca mata buram, dianggap sebagai kelompok yang suka memberontak, kolot, dan tidak kooperatif.
Stigma negatif tersebut dibangun oleh Belanda agar pengikut ini dikucilkan dari masyarakat. Padahal banyak sekali ajaran Samin yang sepenuhnya belum diketahui dan memuat keluhuran dalam memaknai hidup.
Karena Samin telah berkonotasi negatif, saat ini pengikut Samin lebih suka dipanggil Sedulur Sikep yaitu orang yang memiliki sikap dan bertanggung jawab.
Makna Keluhuran Hidup dari Ajaran Samin
Potret masyarakat Samin sebelum dan setelah kemerdekaan tentunya berbeda. Setelah kemerdekaan, mereka sudah merasa menjadi bagian dari warga Negara Indonesia. Sebagai warga negara, mereka juga memenuhi kewajiban seperti membayar pajak.
Meskipun saat ini masyarakat Samin telah terbuka dengan dunia luar, dan mengenal pesatnya perkembangan teknologi, ajaran dari leluhur masih tetap lestari dan dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Samin mayoritas bekerja sebagai petani dan sangat mengagungkan pekerjaan bertani. Bagi mereka, bertani adalah pekerjaan mulia dan jauh dari kebohongan.
Hal tersebut bisa dilihat di Dukuh Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong Kabupaten Blora. Mbah Pramugi Prawiro Widjoyo yang merupakan sesepuh Sedulur Sikep Dukuh Blimbing sekaligus ketua adat Samin se-Indonesia menuturkan, dalam bertingkah laku masyarakat Samin tidak boleh “drengki, srei, tukar padu, dahpen, kemeren, kutil jumput, mbedog nyolong” (jangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan dilarang mengambil yang bukan haknya).
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Samin memegang prinsip kejujuran, kerja keras, kebersamaan dan persaudaraan, dan peduli lingkungan. Kejujuran adalah inti dari ajaran dalam masyarakat Samin. Segala ajaran bersumber dari kejujuran.
Karena kejujurannya itu, masyarakat Samin kerap kali dianggap sebagai orang yang amat lugu. Masyarakat Samin sangat kuat memegang prinsip bahwa yang paling utama bagi orang hidup adalah bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Agar mendapatkan hasil yang baik dalam bekerja, manusia harus berusaha dan sabar. Dengan usaha dan kesabaran tersebut, hambatan yang merintangi jalan kehidupannya tidak akan terjadi.
Kebersamaan merupakan ajaran terpokok yang dikembangkan oleh Samin Surosentiko. Kaidah yang digunakan adalah sami-sami yang berarti sebagai sesama manusia harus bertindak “sama-sama”, sama-sama bertindak adil, jujur, saling menolong, demi terciptanya masyarakat yang rukun.
Hubungan manusia dengan alam di masyarakat Samin terjalin sangat baik dan dekat. Hal ini dikarenakan rutinitas kehidupan masyarakat Samin adalah sebagai petani sehingga kedekatan dengan alam tidak dapat dipisahkan.
Di Dukuh Blimbing, antara kebudayaan dan teknologi bisa bersinergi. Dalam berpakaian, mereka memiliki ciri khas tersendiri, yaitu serba hitam baik laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki ditambah mengenakan udeng
Selain itu, mereka juga sudah bisa membatik, menyablon, dan sudah tidak buta huruf. Dahulu masyarakat Samin yang sudah tua tidak bisa membaca dan menulis. Namun di bawah bimbingan Mbah Pramugi, mereka sudah bisa membaca.
Bahkan kampung Samin di Dukuh Blimbing ini telah ditetapkan sebagai Kampung Literasi oleh Pusat Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PP PAUD DIKMAS) Povinsi Jawa Tengah.
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Akses Menuju Kampung Samin
Dari arah Blora Kota, bisa menaiki bus menuju Cepu atau menggunakan motor pribadi. Panjang perjalanan 38 km dengan waktu tempuh kira-kira satu jam. Jika dari arah kota Cepu, juga bisa mengendarai angkutan umum atau pribadi dengan waktu tempuh sekitar 20 menit.
Setelah itu, didekat hutan jati terdapat papan petunjuk bertuliskan “TBM Komunitas Adat Samin” Desa Sambongrejo. Perlu 5 menit lagi untuk kemudian sampai di Kampung Samin yang disambut dengan patung Ki Samin Surosentiko.
brisik.id/Winanti Rahayu Indah Lestari
Penginapan Terdekat
Tamu dari luar Blora yang memerlukan waktu berhari-hari di Kampung Samin, biasanya akan dipersilakan pihak keluarga Sedulur Sikep untuk tidur di kediamannya.
Jika Anda sungkan atau ingin menginap di luar Kampung Samin, ada banyak hotel di Kota Cepu yang letaknya tidak begitu jauh dengan lokasi. Seperti Kyriad Arra Hotel Cepu, Hotel Cepu Indah 2, Grand Cepu Hotel, Mega Bintang Sweet Hotel, dan Topstar Hotel. Hotel-hotel tersebut memiliki tarif sekitar 300.000-500.000 per malam.
Lokasi di sekitar hotel juga memiliki kuliner lokal khas Blora, tepatnya di Kota Cepu, seperti lontong tahu, sate, egg roll waluh, dumbeg, kopi santen yang wajib dicoba selama berkunjung ke Blora.
Artikel ini ditulis oleh Winanti Rahayu Indah Lestari