Menyaksikan Upacara Adat Rambu Solo' di Sumarorong
Lifestyle 02 November 2020Adat Istiadat Sulawesi Barat Mamasa Sumarorong Sasakan Upacara Kedukaan Rambu Solo Travel
Selain kaya akan keindahan alamnya, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat juga memiliki adat istiadat yang masih sangat terjaga hingga sampai saat ini. Salah satunya yaitu ritual Rambu Solo atau upacara kedukaan.
Sebagian masyarakat di Kabupaten Mamasa yang masih memegang teguh kepercayaan leluhur, percaya bahwa kematian tidak akan sempurna tanpa melalui ritual Rambu Solo. Karena kematian adalah pintu menuju alam roh atau di sebut Lolako Puyu.
Seperti di Desa Sasakan, Kecematan Sumarorong, Mamasa, masih banyak masyarakat menganut kepercayaan Aluktudolo. Menggelar upacar Rambu Solo adalah kewajiban ketika ada keluarga yang meninggal.
Foto : brisik.id/Zulkifli Darwis
Mereka menganggap, orang yang meninggal belum dianggap meninggal jika ritual Rambu Solo belum digelar. Sebuah kematian harus ditutup oleh Rambu Solo. Konon, jika tidak melaksanakan ritual tersebut, maka akan mendapat malapetaka.
Rambu Solo memiliki rangkaian ritual cukup rumit dan memerlukan biaya tidak sedikit. Oleh karena itu, keluarga akan menyimpan jenazah dalam rumah sembari mempersiapkan segala kebutuhan berupa materi agar dapat menggelar ritual Rambu Solo. Pada acara yang diikuti penulis kali ini, di Desa Sumarorong, mendiang didiamkan didalam rumah selama setahun.
Ketika seluruh kebutuhan telah dipersiapkan, keluarga, kerabat jauh dan dekat akan berdatangan. Selama mengikuti prosesi ini mengugunakan pakaian yang didominasi berwarna hitam. Warna hitam merupakan simbol keikhlasan, kekuatan dan kesabaran atas kedukaan.
Foto : brisik.id/Zulkifli Darwis
Ritual yang digelar di Desa Sasakan, Sumarorong ini berlangsung selama delapan hari. Di sini, ada sedikit perbedaan dengan Rambu Solo yang digelar di Tana Toraja, bahkan di beberapa daerah di Mamasa. Gelaran kali ini, keluarga merupakan penganut kepercayaan Aluktodolo sehinga semua ritual harus dijalankan. Sedangkan upacara Rambu Solo yang keluarganya sudah menganut agama kristen, beberapa ritual atau prosesi telah dihilangkan karena tidak sesuai dengan ajaran yang dianut.
Rambu Solo di Sumarorong dalam dua hari penerimaan tamu, terkumpul sebanyak 410 babi dan puluhan kerbau. Babi menjadi peranan penting dalam setiap ritual yang digelar. Paling tidak 1 ekor babi dikurbankan pada setiap tahapan ritual.
Foto : brisik.id/Zulkifli Darwis
Memasuki prosesi pebabaran atau penyembelihan puluhan kerbau, jumlah kerbau disesuaikan dengan kasta jenazah. Mendiang yang masih menganut kepercayaan Aluk Todolo, jumlah kerbaunya 14 dengan menggunakan adat Tallukkasera (39). Menurut ajaran ini, tidak bisa sembarang menentukan jumlah kerbau yang disembelih meski mampu memotong dalam jumlah lebih banyak.
Proses pebabaran pun berbeda dengan beberapa tradisi Rambu Solo lainnya. Mereka melakukannya dengan menombak kerbau tepat di jantung. Pada acara ini, dari semua kerbau yang disembelih, akan disisakan 1 ekor untuk disembelih secara islam bagi tamu muslim.
Foto : brisik.id/Zulkifli Darwis
Di hari pemakaman, beberapa ritual terlebih dahulu dilaksanakan, yakni mulai dari menurunkan jenazah jadi Palura sampai ritual Mamori'. Mamori' bisa diartikan sebagai evaluasi diri terhadap segala sesuatu yang telah terjadi sebelumnya, termasuk semua prosesi Rambu Solo yang digelar apakah sudah sesuai dengan ketentuan.
Setelah itu jenazah akan Dipaliling Banua atau diarak keliling rumah hingga beberapa kali. Lalu digotong ke tempat peristirahatan terakhir. Semua yang ikut dalam prosesi ini akan dilumuri lumpur, air dan tanah. Jenazah digotong dengan diiringi teriakan khas. Kadang juga berlarian atau meloncat-loncat sambil berteriak.
Bagi penganut kepercayaan Aluktudolo, ada ritual yang disebut Mero'. Mero' atau ritual puasa nasi dan beberapa pantangan lainnya. Ini salah satu ritual yang harus dilakukan keluarga disaat menjaga jenazah di atas rumah. Jadi jika jenazah diletakkan di atas rumah selama satu tahun, maka keluarga harus berpuasa untuk tidak memakan nasi hingga prosesi Rambu Solo selesai digelar. Ini dilakukan oleh keluarga inti atau disebut Tomattudangngi.
Sedangkan keluarga lain bisa melakukan Mero' lebih singkat. Misalnya seminggu sebelum puncak Rambu Solo. Jika ada keluarga yang melanggar, maka akan disembelih satu ekor babi sebagai denda. Keluarga baru bisa memakan nasi dan 'terbebas' dari pantangan lainnya setelah jenazah sudah dimakamnkan.
Foto : brisik.id/Zulkifli Darwis
Setelah jenazah masuk ke liang lahat, keesokan harinya ada ritual pendioran. Ritual ini bisa berarti pembersihan atau pensucian. Mereka menggunakan air yang mengalir (sungai) sebagai media. Di pagi yang sama juga kembali digelar prosesi Mamori'. Mereka percaya jika setiap tempat ada dewanya (dewata) seperti belantara, pohon dan sungai. Ritual pendioran hanya dilakukan pada Rambu Solo yang masih menganut kepercayaan Aluk Todolo, sedangkan mereka yang sudah menganut agama lain tidak memasukkan ini sebagai bagian dari upacara kematian.
Keluarga baru bisa memakan nasi setelah ritual pendioran, selanjutnya dilakukan Sosoan Barata atau menghapuskan pantangan. Dilanjutkan dengan Kandean bo'bo atau makan nasi. Kandean Bo'bo' dibagi menjadi dua bagian, yaitu umum dan khusus. Untuk yang umum dalam artian keluarga yang berpuasa dalam waktu singkat.
Foto: brisik.id/Zulkifli Darwis
Sedangkan yang khusus, nanti keesokan harinya barulah mereka bisa makan nasi ketika seluruh rangkaian ritual Rambu Solo sudah dilaksanakan yang ditutup dengan Pa'balikan Daun. Ritual ini sebagai rasa syukur atas seluruh rangkaian yang telah dilakukan. Ritual ini ditujukan kepada Batara Tua (Yang Maha Kuasa).
Upacara Rambu Solo di Kabupaten Mamasa, rutin digelar setiap tahun. Hanya saja untuk mendapatkan informasi pagelaran Rambu Solo sulit didapat. Sebab upacara ini merupakan kegiatan keluarga mereka yang meninggal.
Adat Istiadat Sulawesi Barat Mamasa Sumarorong Sasakan Upacara Kedukaan Rambu Solo Travel