Foto: Instagram.com/surabaya
Teman Brisik yang berdomisili di Jawa Timur, pernahkah kalian menonton pentas ludruk? Mungkin, ada juga yang pernah tampil pada pentas ludruk? Kesenian tradisional dalam bentuk pertunjukan teater. Itulah ludruk.
Nama saja kesenian tradisional, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah, yakni bahasa Jawa dengan dialek Jawa Timuran. Cerita yang diangkat bisa tentang tokoh terkemuka asal Jawa Timur, bisa juga tentang keseharian masyarakat.
Sebelum masuk ke pementasan jalan cerita, pertunjukan ludruk dibuka dengan dua tarian tradisional. Pertama, tari remo dengan ciri khas gerakan yang tegas dan bunyi gemerincing gelang kaki (gongseng) yang dikenakan penari. Kedua, tari bedayan nan lemah gemulai.
Para pemain ludruk tak jarang melemparkan guyonan-guyonan yang bisa membuat penonton tertawa terbahak-bahak. Ya, asalkan paham bahasa Jawa Timur, penonton bisa benar-benar terhibur dengan pertunjukan ludruk.
Foto: humas.surabaya.go.id/by Dowi Wimpi
Guyonan-guyonan dari para pemain ludruk bisa berasal dari dialog cerita yang dipentaskan maupun dari jula-juli. Apa itu jula-juli? Jula-juli adalah pantun yang dilagukan yang dibawakan dengan iringan gamelan. Di bawah ini adalah contoh jula-juli yang pernah dibawakan Kartolo, seniman ludruk asal Surabaya.
"Ngingu ternak, ya, nang Jombang, tuku kendi, ya, ning Semarang. Pancen enak dadi bujangan, nang endi-endi gak ana sing ngelarang." Artinya, beli ternak, ya, di Jombang, beli kendi, ya, di Semarang. Memang enak jadi bujangan, pergi ke mana saja tidak ada yang melarang.
SejarahTerdapat beberapa versi mengenai sejarah ludruk. Salah satunya ialah bahwa ludruk bermula pada 1907 dari penduduk Desa Ceweng, Jombang bernama Santik. Ludruk bermula dari kesenian berupa mengamen yang diperkenalkan Santik bersama kedua temannya dari desa ke desa.
Agar makin menghibur, mereka terkadang berdandan menjadi perempuan. Inilah yang membuat para pemain ludruk berjenis kelamin laki-laki. Meski ada tokoh perempuan, tetap saja laki-laki yang memerankannya. Seiring waktu berjalan, beberapa grup ludruk mempersilakan perempuan untuk berpartisipasi.
Dari Jombang, ludruk lantas berkembang dan hadir di kabupaten dan kota lain di Jawa Timur, termasuk di Surabaya. Adalah Gondo Durasim atau akrab disapa Cak Durasim yang menginisiasi berdirinya grup ludruk di Surabaya.
Foto: humas.surabaya.go.id/by Dowi Wimpi
Oleh Cak Durasim, pentas ludruk digunakan sebagai media untuk berjuang melawan penjajah. Semasa Cak Durasim berkarya sebagai seniman ludruk, Indonesia berada di bawah penjajahan Jepang. Pada salah satu pentas ludruk, Cak Durasim membawakan jula-juli yang isinya mengkritik Jepang.
Begini bunyi jula-julinya, "Pagupon omahe dara. Melu Nippon tambah sara." Artinya, pagupon kandangnya merpati. Ikut Nippon (Jepang) makin sengsara. Mulanya, Jepang tidak ngeh arti jula-juli itu. Begitu mengetahui bahwa itu adalah kritik untuk mereka, Cak Durasim pun dijebloskan ke penjara.
Cak Durasim meninggal pada 1944. Ia dimakamkan di Surabaya. Pada batu nisannya, tertulis jula-julinya yang membuatnya masuk penjara. Namanya lalu diabadikan sebagai nama salah satu gedung di komplek Taman Budaya Jawa Timur di Jalan Genteng Kali, Surabaya.
Balai BudayaDi Surabaya, pentas ludruk bisa disaksikan di Balai Budaya yang merupakan bagian dari Komplek Balai Pemuda di Jalan Gubernur Suryo nomor 15. Setiap tahunnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya menggelar Festival Ludruk. Tujuan digelarnya Festival Ludruk adalah tentu saja untuk melestarikan ludruk di samping juga untuk menumbuhkan kecintaan terhadap ludruk, khususnya bagi generasi muda. Pemain yang tampil pada festival tersebut adalah siswa dan masyarakat umum.
Dahulu Balai Budaya adalah gedung bioskop Mitra. Setelah Mitra tutup, kini difungsikan sebagai tempat pagelaran kesenian. Pada masa pandemi Covid-19, pentas ludruk tetap digelar di Balai Budaya, tetapi tentu saja tidak dihadiri penonton. Sebagai gantinya, penonton dapat menikmatinya secara virtual melalui kanal YouTube milik Pemerintah Kota Surabaya, yakni Bangga Surabaya, Disbudpar Kota Surabaya, dan Sapawarga Kota Surabaya.
Artikel ini ditulis oleh Laras Prameswari