Foto: brisik.id
Kasepuhan Sinar Resmi merupakan salah satu kampung adat yang terletak di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat. Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh Abah Asep yang berperan sebagai ketua adat masyarakat.
Tempat ini menawarkan destinasi wisata budaya yang menarik, unik, penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal, mistis, dan gaya hidup masyarakat yang bersatu dengan alam. Pesona alam yang masih asri dimana udaranya masih sejuk, air melimpah dan jernih, tumbuhan dan pepohonan hijau serta corak kehidupan masyarakat yang masih tradisional.
Lokasinya berada di Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, berjarak sekitar 27 km dari pusat Ibu Kota Pelabuhan Ratu, dengan akses jalan yang terbilang tidak mudah membuat objek wisata budaya ini jauh dari jangkauan dan hiruk-pikuk perkotaan.
Dengan sulitnya akses menuju lokasinya, maka lebih disarankan untuk menempuh rutenya menggunakan kendaraan pribadi, khususnya kendaraan roda dua. Pasalnya, kendaraan umum masih jarang melintasi kawasannya yang terbilang terjal dan berliku.
Serba Tradisional
Tempat wisata ini menyuguhkan suasana corak hidup masyarakat setempat yang masih tradisional. Bangunan rumah yang masih menggunakan bambu sebagai bahan utama jadi pemandangan biasa di kawasan ini.
Setiap rumah, memiliki teras yang di bagian bawahnya difungsikan sebagai kandang unggas, seperti ayam atau bebek. Selain itu cara berpakaian masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pun masih semi tradisional dimana perempuan dalam kasepuhan diwajibkan untuk memakai sarung kebat dan laki-laki nya diwajibkan untuk menggunakan tutup kepala yang dinamakan iket.
Karena merupakan objek wisata budaya, wisatawan yang berkunjung dan menginap maka akomodasi yang tersedia hanyalah rumah-rumah penduduk saja. Selain itu, konsumsi selama berada di sana hanya mengandalkan makanan rumah atau warung-warung penduduk.
Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sangat tercermin dalam tata cara pertanian padinya. Para petani di sini masih memegang teguh warisan tradisi secara turun-temurun.
Masyarakat setempat menganggap padi merupakan hal yang penting. Alih-alih hanya sekadar menjadi makanan pokok, padi juga dianggap sebagai bagian dalam tradisi budaya yang ada.
Penanaman padi dilakukan setiap satu tahun sekali. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menjaga kelestarian tanah sawah agar dapat kesempatan untuk kembali mengumpulkan unsur hara sebanyak-banyaknya.
Pengelolaan padi di Kasepuhan Sinar Resmi ini dilakukan secara bersama dengan bimbingan dan arahan dari kepala adat, mulai dari pengelolaan sawah, pengurusan, penanaman, proses panen, sampai pendistribusiannya.
Hal itu membuat semua warga kasepuhan ini tidak mengelola sawah secara individual atau masing-masing. Oleh karena itu, sektor pertanian di kawasan ini dikenal dengan sistem gotong royong.
Selain itu, masyarakat di sini memiliki prinsip: tidak boleh mengurangi, kalau menambah silakan. Artinya, meskipun hidup dengan nilai-nilai kearifan yang masih terjaga, masyarakat adat juga tidak reaksioner terhadap kemungkinan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru.
Namun, apabila hal tersebut sekiranya dapat merusak maka masyarakat sudah pasti akan menolak. Hal tersebut dimaksudkan sebagai wujud konsistensi terhadap nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat setempat.
Tempat ini menawarkan destinasi wisata budaya yang menarik, unik, penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal, mistis, dan gaya hidup masyarakat yang bersatu dengan alam. Pesona alam yang masih asri dimana udaranya masih sejuk, air melimpah dan jernih, tumbuhan dan pepohonan hijau serta corak kehidupan masyarakat yang masih tradisional.
Lokasinya berada di Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat, berjarak sekitar 27 km dari pusat Ibu Kota Pelabuhan Ratu, dengan akses jalan yang terbilang tidak mudah membuat objek wisata budaya ini jauh dari jangkauan dan hiruk-pikuk perkotaan.
Dengan sulitnya akses menuju lokasinya, maka lebih disarankan untuk menempuh rutenya menggunakan kendaraan pribadi, khususnya kendaraan roda dua. Pasalnya, kendaraan umum masih jarang melintasi kawasannya yang terbilang terjal dan berliku.
Serba Tradisional
Tempat wisata ini menyuguhkan suasana corak hidup masyarakat setempat yang masih tradisional. Bangunan rumah yang masih menggunakan bambu sebagai bahan utama jadi pemandangan biasa di kawasan ini.
Setiap rumah, memiliki teras yang di bagian bawahnya difungsikan sebagai kandang unggas, seperti ayam atau bebek. Selain itu cara berpakaian masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi pun masih semi tradisional dimana perempuan dalam kasepuhan diwajibkan untuk memakai sarung kebat dan laki-laki nya diwajibkan untuk menggunakan tutup kepala yang dinamakan iket.
Karena merupakan objek wisata budaya, wisatawan yang berkunjung dan menginap maka akomodasi yang tersedia hanyalah rumah-rumah penduduk saja. Selain itu, konsumsi selama berada di sana hanya mengandalkan makanan rumah atau warung-warung penduduk.
Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi sangat tercermin dalam tata cara pertanian padinya. Para petani di sini masih memegang teguh warisan tradisi secara turun-temurun.
Masyarakat setempat menganggap padi merupakan hal yang penting. Alih-alih hanya sekadar menjadi makanan pokok, padi juga dianggap sebagai bagian dalam tradisi budaya yang ada.
Penanaman padi dilakukan setiap satu tahun sekali. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menjaga kelestarian tanah sawah agar dapat kesempatan untuk kembali mengumpulkan unsur hara sebanyak-banyaknya.
Pengelolaan padi di Kasepuhan Sinar Resmi ini dilakukan secara bersama dengan bimbingan dan arahan dari kepala adat, mulai dari pengelolaan sawah, pengurusan, penanaman, proses panen, sampai pendistribusiannya.
Hal itu membuat semua warga kasepuhan ini tidak mengelola sawah secara individual atau masing-masing. Oleh karena itu, sektor pertanian di kawasan ini dikenal dengan sistem gotong royong.
Selain itu, masyarakat di sini memiliki prinsip: tidak boleh mengurangi, kalau menambah silakan. Artinya, meskipun hidup dengan nilai-nilai kearifan yang masih terjaga, masyarakat adat juga tidak reaksioner terhadap kemungkinan untuk beradaptasi dengan hal-hal baru.
Namun, apabila hal tersebut sekiranya dapat merusak maka masyarakat sudah pasti akan menolak. Hal tersebut dimaksudkan sebagai wujud konsistensi terhadap nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup masyarakat setempat.
Artikel ini ditulis oleh Egi Hilman