Gubuk Seng dan Cerita Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau 1883

Lifestyle 01 Mei 2021

Foto: Brisik.id/Meza Swastika

Gubuk Seng yang sunyi dengan penduduk yang jarang terlihat masih sama seperti saat Gunung Krakatau belum meletus pada 1883. Rumah-rumah yang seadanya - lebih mirip dengan kandang kambing - penduduk yang diam kepada siapa pun pendatang seperti masih menyimpan perih letupan dahsyat Gunung Krakatau 1883.

Keberadaannya jauh tenggelam dari hingar-bingar dan kesan modern yang ditunjukkan pada keseharian masyarakat Pulau Sebesi lainnya. Gubuk Seng adalah titik nol dari dahsyatnya letusan Gunung Krakatau dan monster berupa gelombang laut setinggi puluhan meter. Ketika bencana itu terjadi, warga Gubuk Seng adalah umat manusia yang pertama kali menjadi korban awal.

Foto: Irham Farid

Dari Gubuk Seng, Gunung Anak Krakatau terlihat amat jelas dari kaki hingga puncak gunungnya. Asap letupan gunung yang sesekali membubung ke angkasa juga kerap sampai ke Gubuk Seng.

Jarak Gunung Anak Krakatau dan Gubuk Seng terbilang dekat sekali, hanya sekitar 8 mil laut. Itulah kenapa saat Gunung Krakatau meletus, warga yang tinggal di Gubuk Seng menjadi korban yang pertama atau terdampak utama.

Hanya dalam hitungan menit saat Krakatau meletus dan tsunami menyapu wilayah ini sudah rata dan tertutup dengan air laut yang tinggi.

Foto: Meza Swastika

Gubuk Seng adalah kampung kecil yang masuk dalam wilayah Pulau Sebesi yang masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan. Kampung yang luasnya kurang dari satu hektar ini nyaris terisolir dan jarang dikunjungi oleh siapa pun termasuk oleh warga Pulau Sebesi.

Tempatnya terlihat suram, meski terkesan sejuk dengan nyiur-nyiur kelapa yang teduh menutup pancaran terik matahari. Sisa-sisa dahsyatnya letusan Gunung Krakatau juga masih terlihat jelas di tempat ini. Jangan heran jika di Gubuk Seng masih dijumpai sisa-sisa karang laut yang terdampar di perkebunan kelapa.  

Gubuk Seng yang didiami oleh sekitar 20-an kepala keluarga ini memang terlihat tertutup dan minim interaksi dengan dunia luar. Bahkan dengan warga lain yang tinggal satu pulau dengan mereka di Pulau Sebesi, hanya gubuk-gubuk kecil yang saling berjarak dan selalu sunyi.

Dengan berjalan kaki, menyusuri tepian pantai sejak dari dermaga Pulau Sebesi kemudian menyusuri perkampungan penduduk dan jalan yang awalnya adalah berupa paving blok. Akhir jalan ber-paving yang masih berupa jalan setapak adalah tanda bahwa siapa pun sudah memasuki wilayah Gubuk Seng.

Tiba di tempat itu, suasananya memang benar-benar berbeda jauh dari kesan kampung, bahkan di siang hari tempat ini nyaris tidak ada satu pun penduduk yang ada. Rumah-rumah yang berukuran tak lebih dari 5x5 meter itu terlihat sepi hanya terlihat beberapa pemancing yang mondar-mandir mencari spot terbaik untuk memancing.

Penamaan Gubuk seng sendiri, menurut penduduk luar Gubuk Seng, dikarenakan gubuk-gubuk bambu yang dibuat penduduk setempat terlihat berkilat-kilat dari kejauhan karena diterpa sinar matahari, "Dulu orang luar Gubuk Seng melihat kampung ini dinding rumahnya berkilauan diterpa sinar matahari seperti seng, karena dinding gubuk dibuat dari bambu kuning yang akan berkilau jika terkena matahari," terang salah seorang warga Pulau Sebesi.

Foto: Meza Swastika

Jahman, warga Gubuk Seng mengakui, warga yang tinggal di Gubuk Seng memang terkesan menutup diri. Fasilitas di sini juga amat minim, jangankan listrik bahkan urusan perabot rumah tangga sekalipun seperti kompor tidak ada di sini, penduduk memasak dengan kayu-kayu kering atau sabut kelapa, suasananya masih benar-benar alami.

Jahman juga menjelaskan jika pada saat Gunung Krakatau meletus pada 1883, penduduk Gubuk Seng adalah penduduk pertama yang menjadi korban mulai dari hujan abu, asap panas (wedhus gembel), letusan sampai di gulung gelombang maha dahsyat setinggi puluhan meter.

Penduduk Gubuk Seng banyak yang terbawa gelombang tsunami hingga ke tengah laut dan jasad mereka tidak pernah ditemukan, dan semua penduduk di Gubuk Seng habis, riwayat keturunan penduduk setempat habis saat Krakatau meletus.

Dalam buku Krakatoa yang ditulis Rogier Verbeek, ahli geologi yang mencatat detail peristiwa dan saksi mata dari letusan dahsyat Gunung Krakatau pada hari Minggu 27 Agustus 1883 yang kemudian oleh BBC London dibuat film semi dokumenter berjudul Krakatoa The Last Day.

Berdasarkan isi dari buku Krakatoa buatannya menyebutkan jika penduduk mengistilahkan Gunung Krakatau sebagai Roh Pegunungan (spirit of the mountain) yang siap membawa bencana. Ketika letusan kedua terjadi pada 1927, Gubuk Seng hanyalah sebuah daerah yang sudah rata dengan pasir pantai, sebagian besar penduduknya habis dilumat letusan Krakatau.

Salah satu tanda kedahsyatan letusan Gunung Krakatau dan gelombang tsunami yang terjadi di Gubuk Seng adalah munculnya gugusan karang seluas hampir setengah lapangan sepak bola di perairan pantai Gubuk Seng. Selain itu, tanah daratan di daerah itu juga terangkat hampir satu meter setelah peristiwa yang ditimbulkan oleh 'keramat dunia' itu.

Dalam kepercayaan masyarakat Gubuk Seng yang mereka percayai sebagai sebuah mitos yang juga tertuang dalam Pustaka Raja Purwa menyebutkan jika roh pegunungan (Krakatau Purba) pada tahun 416 SM memecah daratan sekitarnya, termasuk kemungkinan timbulnya Selat Sunda setelah terbelahnya Pulau Sumatra dan Pulau Jawa saat terjadi letusan dahsyat jauh sebelum letusan 1883, pasca letusan itu muncullah Gunung Krakatau dari dasar laut yang kemudian meletus pada 1883.

Warga Gubuk Seng seperti enggan membuka sejarah kelam yang pernah dialami nenek moyang mereka. Ada rasa trauma sekaligus ngeri jika membuka tabir ingatan yang disebabkan oleh keramat Krakatau.

Tags : pulau sebesi krakatau jawa barat travel liburan brisik brisik.id

Artikel ini ditulis oleh : meza


Berita Terkait

Food & Travel

Wisata Terpadu Di Bejen Fruit Garden

Berwisata dan edukasi ke kebun buah di Temanggung.

06 Mei 2021

Food & Travel

Wara Wiri Di Tlogowungu Muncar

Mengunjungi tempat wisata yang indah tanpa dipungut biaya sepeserpun.

05 Mei 2021

Food & Travel

Wisata Sejarah Religi di Pulau Mansinam yang Sunyi

Di pulau ini dimulai sejarah penyebaran agama Kristen di Papua.

04 Mei 2021

Voucher Rekomendasi

BoomBoom Waterpark

Waterpark

Rp 30,000 Rp 50,000

Kereta Api Mini TMII

Playground

Rp 19,000 Rp 25,000

Kamu Mungkin Tertarik

Food & Travel

Makan Enak Sambil Main Air di One Eighty Coffee and Music

Nikmatnya bersantap tanpa khawatir tenggelam.

26 Mei 2020

Lifestyle

Reog Ponorogo, Kesenian Kebanggaan Masyarakat Ponorogo

Kisah di balik terbentuknya Reog Ponorogo

25 Januari 2021

Food & Travel

Nuansa Futuristik di Shakti Capsule Hotel

Seperti tidur di dalam kapal ruang angkasa.

28 Agustus 2020

Food & Travel

Berburu Kopi di Lemahputih

Sambil menikmati kesejukan dan pemandangan menawan.

16 Januari 2020

Food & Travel

Ngopi di Atas Laut di Cafe Apung Sinjai

Hashtag ngopidiataslaut menjadi salah satu daya tariknya.

25 Juni 2020

Terbaru

more

Food & Travel

Berburu Makanan dan Minuman di KRJ (Kampoeng Ramadhan Jogokariyan)

Pasar takjil yang lengkap dan bisa lanjut beribadah sesudah berbuka.

07 Mei 2021

Food & Travel

Mencoba Mie Jadoel Cirebon di Mie Murni

Mencicipi mie tradisional dengan resep turun temurun di Cirebon.

07 Mei 2021

Food & Travel

Bermalam Dalam Tenda Ger di The Highland Park Resort

Serasa seperti orang bangsa Mongol atau Indian.

07 Mei 2021

Food & Travel

Kumpul lagi di Kedai Kopi Kawan Lama

Ngopi sambil di temanin iringan lagu dari para bang-band ini bisa banget di Kedai ini.

07 Mei 2021

Food & Travel

Berfoto Ria Di Gang Kecil Dengan Nuansa Kolonial di Jalan Prenjak

Di sini merupakan tempat bersejarah dengan bangunan tua sebagai latarnya.

07 Mei 2021

Berita Video

more